Welcome to Indonesia General Election 2009 (Blog Pemilu Indonesia 2009) in which you find more information about Indonesia General Election from 1955 to 2009, Directories of Indonesia's Political Parties combating to 2009 General Election and others. We appreciate the readers visiting our blog and have a nice journeys on Indonesia's General Election

Technologi BARU Pengubah Suara

Rabu, 14 Januari 2009

Cara Dapetin Kursi Tanpa Money Politics

Cara dapetin kursi secara halal tanpa money politics yang membodohi rakyat...

Caleg Siapa Yang Dapat Kursi?

Caleg siapa yang dapat kursi?

Kursi Sisa?

kursi sisa

Ngitung Perolehan Kursi DPRD Provinsi dan Kabupaten / Kota

Ngitung perolehan kursi DPRD Provinsi dan Kabupaten/ Kota

Ngitung Perolehan Kursi DPR

Ngitung Perolehan Kursi DPR

Kampanye Efektif

Sudahkah parpol dan caleg terapkan strategi kampanye efektif dan berkelanjutan?

Selasa, 13 Januari 2009

Parpol Basis Agama vs Nasionalis?

Parpol basis agama vs nasionalis...?

Menakar Peta Politik Parpol di Jawa Timur

Kekuatan politik parpol di Jawa Timur.. Mengapa Jawa Timur? Apa karena pilgubnya nambah lagi...?

Gimana Peluang Partai Baru?

Menakar peluang partai baru....

Apa Modal Jadi Caleg?

Modal nyaleg...
Ada yang bilang jika tak berduit jangan coba-coba nyaleg.. Na lu.. emangnya mau money politics ya... beli suara rakyat... Ah ndak juga.. Minimal modal untuk bikin kaos, banner, stiker, dan ....

Suara Terbanyak vs Nomor Urut

Caleg jadi pakai suara terbanyak...

Senin, 12 Januari 2009

Rejeki Pemilu

Rejeki Pemilu

Undang Undang Penyelenggara Pemilu

UU Penyelenggara Pemilu

Undang Undang Partai Politik

UU Parpol

Undang Undang Pemilu

Undang Undang Pemilu

Milih Presiden Lagi?

Milih Presiden Lagi.. Mau?

DPD (Dewan Perwakilan Daerah) Pa-an Tuch..

DPD..

Di TV Kok Banyak Berita DPR Korupsi Ya...

Di TV Kok Banyak Berita DPR Korupsi Ya...

Coblos Apa Centang eh Contreng?

Pemilu 2009.. tandai satu kali pilihanmu...

Money Politics?

Money Politics Dalam Pemilu

Golput Haram?

Kenapa Sich Kok Pake Istilah Haram Segala .. lha wong cuma milih ato ndak aja...

Pengawas Pemilu 2009

Pengawas Pemilu 2009

Penyelenggara Pemilu 2009

Penyelenggara Pemilu 2009

Tahapan Pemilu 2009

Tahapan Pemilu 2009

Peserta Pemilu 2009

Peserta Pemilu 2009

Pilkades, Pilkadal, Pa-an Tuch...

Pilkades, pilkadal...

Pemilu 2009

Pemilu 2009 Beda Lagi

Pemilu 2004

Pemilu 2004 Beda!

Pemilu 1999

Setelah Presiden Soeharto dilengserkan dari kekuasaannya pada tanggal 21 Mei 1998 jabatan presiden digantikan oleh Wakil Presiden Bacharuddin Jusuf Habibie. Atas desakan publik, Pemilu yang baru atau dipercepat segera dilaksanakan, sehingga hasil-hasil Pemilu 1997 segera diganti. Kemudian ternyata bahwa Pemilu dilaksanakan pada 7 Juni 1999, atau 13 bulan masa kekuasaan Habibie. Pada saat itu untuk sebagian alasan diadakannya Pemilu adalah untuk memperoleh pengakuan atau kepercayaan dari publik, termasuk dunia internasional, karena pemerintahan dan lembaga-lembaga lain yang merupakan produk Pemilu 1997 sudah dianggap tidak dipercaya. Hal ini kemudian dilanjutkan dengan penyelenggaraan Sidang Umum MPR untuk memilih presiden dan wakil presiden yang baru.
Ini berarti bahwa dengan pemilu dipercepat, yang terjadi bukan hanya bakal digantinya keanggotaan DPR dan MPR sebelum selesai masa kerjanya, tetapi Presiden Habibie sendiri memangkas masa jabatannya yang seharusnya berlangsung sampai tahun 2003, suatu kebijakan dari seorang presiden yang belum pernah terjadi sebelumnya.
Sebelum menyelenggarakan Pemilu yang dipercepat itu, pemerintah mengajukan RUU tentang Partai Politik, RUU tentang Pemilu dan RUU tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR dan DPRD. Ketiga draft UU ini disiapkan oleh sebuah tim Depdagri, yang disebut Tim 7, yang diketuai oleh Prof. Dr. M. Ryaas Rasyid (Rektor IIP Depdagri, Jakarta).

Setelah RUU disetujui DPR dan disahkan menjadi UU, presiden membentuk Komisi Pemilihan Umum (KPU) yang anggota-anggotanya adalah wakil dari partai politik dan wakil dari pemerintah. Satu hal yang secara sangat menonjol membedakan Pemilu 1999 dengan Pemilu-pemilu sebelumnya sejak 1971 adalah Pemilu 1999 ini diikuti oleh banyak sekali peserta. Ini dimungkinkan karena adanya kebebasan untuk mendirikan partai politik. Peserta Pemilu kali ini adalah 48 partai. Ini sudah jauh lebih sedikit dibandingkan dengan jumlah partai yang ada dan terdaftar di Departemen Kehakiman dan HAM, yakni 141 partai.

Dalam sejarah Indonesia tercatat, bahwa setelah pemerintahan Perdana Menteri Burhanuddin Harahap, pemerintahan Reformasi inilah yang mampu menyelenggarakan pemilu lebih cepat setelah proses alih kekuasaan. Burhanuddin Harahap berhasil menyelenggarakan pemilu hanya sebulan setelah menjadi Perdana Menteri menggantikan Ali Sastroamidjojo, meski persiapan-persiapannya sudah dijalankan juga oleh pemerintahan sebelum-nya. Habibie menyelenggarakan pemilu setelah 13 bulan sejak ia naik ke kekuasaan, meski persoalan yang dihadapi Indonesia bukan hanya krisis politik, tetapi yang lebih parah adalah krisis ekonomi, sosial dan penegakan hukum serta tekanan internasional.

Hasil Pemilu 1999

Meskipun masa persiapannya tergolong singkat, pelaksanaan pemungutan suara pada Pemilu 1999 ini bisa dilakukan sesuai jadwal, yakni tanggal 7 Juni 1999. Tidak seperti yang diprediksikan dan dikhawatirkan banyak pihak sebelumnya, ternyata Pemilu 1999 bisa terlaksana dengan damai, tanpa ada kekacauan yang berarti. Hanya di beberapa Daerah Tingkat II di Sumatera Utara yang pelaksanaan pemungutan suaranya terpaksa diundur suara satu pekan. Itu pun karena adanya keterlambatan atas datangnya perlengkapan pemungutan suara.
Tetapi tidak seperti pada pemungutan suara yang berjalan lancar, tahap penghitungan suara dan pembagian kursi pada Pemilu kali ini sempat menghadapi hambatan. Pada tahap penghitungan suara, 27 partai politik menolak menandatangani berita acara perhitungan suara dengan dalih Pemilu belum jurdil (jujur dan adil). Sikap penolakan tersebut ditunjukkan dalam sebuah rapat pleno KPU. Ke-27 partai tersebut adalah sebagai berikut:
Partai yang Tidak Menandatangani Hasil Pemilu 1999: 1. Partai Keadilan, 2. PNU 3. PBI, 4.
PDI, 5. Masyumi, 6. PNI Supeni, 7. Krisna, 8. Partai KAMI 9. PKD, 10. PAY, 11. Partai MKGR, 12. PIB, 13. Partai SUNI, 14. PNBI, 15. PUDI, 16. PBN, 17. PKM, 18. PND, 19. PADI, 20. PRD, 21. PPI, 22. PID, 23. Murba, 24. SPSI, 25. PUMI, 26. PSP, 27. PARI.

Karena ada penolakan, dokumen rapat KPU kemudian diserahkan pimpinan KPU kepada presiden. Oleh presiden hasil rapat dari KPU tersebut kemudian diserahkan kepada Panwaslu (Panitia Pengawas Pemilu). Panwaslu diberi tugas untuk meneliti keberatan-keberatan yang diajukan wakil-wakil partai di KPU yang berkeberatan tadi. Hasilnya, Panwaslu memberikan rekomen-dasi bahwa pemilu sudah sah. Lagipula mayoritas partai tidak menyertakan data tertulis menyangkut keberatan-keberatannya. Presiden kemudian juga menyatakan bahwa hasil pemilu sah. Hasil final pemilu baru diketahui masyararakat tanggal 26 Juli 1999.
Setelah disahkan oleh presiden, PPI (Panitia Pemilihan Indonesia) langsung melakukan pembagian kursi. Pada tahap ini juga muncul masalah. Rapat pembagian kursi di PPI berjalan alot. Hasil pembagian kursi yang ditetapkan Kelompok Kerja PPI, khususnya pembagian kursi sisa, ditolak oleh kelompok partai Islam yang melakukan stembus accoord. Hasil Kelompok Kerja PPI menunjukkan, partai Islam yang melakukan stembus accoord hanya mendapatkan 40 kursi. Sementara Kelompok stembus accoord 8 partai Islam menyatakan bahwa mereka berhak atas 53 dari 120 kursi sisa.

Perbedaan pendapat di PPI tersebut akhirnya diserahkan kepada KPU. Di KPU perbedaan pendapat itu akhirnya diselesaikan melalui voting dengan dua opsi. Opsi pertama, pembagian kursi sisa dihitung dengan memperhatikan suara stembus accoord, sedangkan opsi kedua pembagian tanpa stembus accoord. Hanya 12 suara yang mendukung opsi pertama, sedangkan yang mendukung opsi kedua 43 suara. Lebih dari 8 partai walk out. Ini berarti bahwa pembagian kursi dilakukan tanpa memperhitungkan lagi stembus accoord.

Berbekal keputusan KPU tersebut, PPI akhirnya dapat melakukan pembagian kursi hasil pemilu pada tanggal 1 September 1999. Hasil pembagian kursi itu menunjukkan, lima partai besar memborong 417 kursi DPR atau 90,26 persen dari 462 kursi yang diperebutkan.
Sebagai pemenangnya adalah PDI-P yang meraih 35.689.073 suara atau 33,74 persen dengan perolehan 153 kursi. Golkar memperoleh 23.741.758 suara atau 22,44 persen sehingga mendapatkan 120 kursi atau kehilangan 205 kursi dibanding Pemilu 1997. PKB dengan 13.336.982 suara atau 12,61 persen, mendapatkan 51 kursi. PPP dengan 11.329.905 suara atau 10,71 persen, mendapatkan 58 kursi atau kehilangan 31 kursi dibanding Pemilu 1997. PAN meraih 7.528.956 suara atau 7,12 persen, mendapatkan 34 kursi. Di luar lima besar, partai lama yang masih ikut, yakni PDI merosot tajam dan hanya meraih 2 kursi dari pembagian kursi sisa, atau kehilangan 9 kursi dibanding Pemilu 1997.

Catatan:
Jumlah suara partai yang tidak menghasilkan kursi mencapai 9.700.658. atau 9,17 persen dari suara yang sah.
Apabila pembagian kursi dilakukan dengan sistem kombinasi jumlah partai yang mendapatkan kursi mencapai 37 partai dengan jumlah suara partai yang tidak menghasilkan kursi hanya 706.447 atau 0,67 persen dari suara sah.
Cara pembagian kursi hasil pemilihan kali ini tetap memakai sistem proporsional dengan mengikuti varian Roget. Dalam sistem ini sebuah partai memperoleh kursi seimbang dengan suara yang diperolehnya di daerah pemilihan, termasuk perolehan kursi berdasarkan the largest remainder.
Tetapi cara penetapan calon terpilih berbeda dengan Pemilu sebelumnya, yakni dengan menentukan ranking perolehan suara suatu partai di daerah pemilihan. Apabila sejak Pemilu 1977 calon nomor urut pertama dalam daftar calon partai otomatis terpilih apabila partai itu mendapatkan kursi, maka kini calon terpillih ditetapkan berdasarkan suara terbesar atau terba-nyak dari daerah di mana seseorang dicalonkan. Dengan demikian seseorang calon, sebut saja si A, meski berada di urutan terbawah dari daftar calon, kalau dari daerahnya partai mendapatkan suara terbesar, maka dialah yang terpilih. Untuk cara penetapan calon terpilih berdasarkan perolehan suara di Daerah Tingkat II ini sama dengan cara yang dipergunakan pada Pemilu 1971.

Bagaimanapun penyelenggaraan Pemilu-pemilu tersebut merupakan pengalaman yang berharga. Sekarang, apakah pengalaman itu akan bermanfaat atau tidak semuanya sangat tergantung pada penggunaannya untuk masa-masa yang akan datang. Pemilu yang paling dekat adalah Pemilu 2004. Pengalaman tadi akan bisa dikatakan berharga apabila Pemilu 2004 nanti memang lebih baik daripada Pemilu 1999. Pemilu 1999 untuk banyak hal telah mendapat pujian dari berbagai pihak. Dengan pengalaman tersebut, sudah seharusnyalah kalau Pemilu 2004 mendatang lebih baik lagi.

Sumber: www.kpu.go.id

Pemilu 1955 - 1997



Pemilu 1955

Ini merupakan pemilu yang pertama dalam sejarah bangsa Indonesia. Waktu itu Republik Indonesia berusia 10 tahun. Kalau dikatakan pemilu merupakan syarat minimal bagi adanya demokrasi, apakah berarti selama 10 tahun itu Indonesia benar-benar tidak demokratis? Tidak mudah juga menjawab pertanyaan tersebut.
Yang jelas, sebetulnya sekitar tiga bulan setelah kemerdekaan dipro-klamasikan oleh Soekarno dan Hatta pada 17 Agustus 1945, pemerin-tah waktu itu sudah menyatakan keinginannya untuk bisa menyele-nggarakan pemilu pada awal tahun 1946. Hal itu dicantumkan dalam Maklumat X, atau Maklumat Wakil Presiden Mohammad Hatta tanggal 3 Nopember 1945, yang berisi anjuran tentang pembentukan par-tai-partai politik. Maklumat tersebut menyebutkan, pemilu untuk me-milih anggota DPR dan MPR akan diselenggarakan bulan Januari 1946. Kalau kemudian ternyata pemilu pertama tersebut baru terselenggara hampir sepuluh tahun setelah kemudian tentu bukan tanpa sebab.

Tetapi, berbeda dengan tujuan yang dimaksudkan oleh Maklumat X, pemilu 1955 dilakukan dua kali. Yang pertama, pada 29 September 1955 untuk memlih anggota-anggota DPR. Yang kedua, 15 Desember 1955 untuk memilih anggota-anggota Dewan Konstituante. Dalam Maklumat X hanya disebutkan bahwa pemilu yang akan diadakan Januari 1946 adalah untuk memilih angota DPR dan MPR, tidak ada Konstituante.

Keterlambatan dan “penyimpangan” tersebut bukan tanpa sebab pula. Ada kendala yang bersumber dari dalam negeri dan ada pula yang berasal dari faktor luar negeri. Sumber penyebab dari dalam antara lain ketidaksiapan pemerintah menyelenggarakan pemilu, baik karena belum tersedianya perangkat perundang-undangan untuk mengatur penyelenggaraan pemilu maupun akibat rendahnya stabilitas keamanan negara. Dan yang tidak kalah pentingnya, penyebab dari dalam itu adalah sikap pemerintah yang enggan menyelenggarakan perkisaran (sirkulasi) kekuasaan secara teratur dan kompetitif. Penyebab dari luar antara lain serbuan kekuatan asing yang mengharuskan negara ini terlibat peperangan.
Tidak terlaksananya pemilu pertama pada bulan Januari 1946 seperti yang diamanatkan oleh Maklumat 3 Nopember 1945, paling tidak disebabkan 2 (dua) hal :
1. Belum siapnya pemerintah baru, termasuk dalam penyusunan perangkat UU Pemilu;
2. Belum stabilnya kondisi keamanan negara akibat konflik internal antar kekuatan politik yang ada pada waktu itu, apalagi pada saat yang sama gangguan dari luar juga masih mengancam. Dengan kata lain para pemimpin lebih disibukkan oleh urusan konsolidasi.
Namun, tidaklah berarti bahwa selama masa konsolidasi kekuatan bangsa dan perjuangan mengusir penjajah itu, pemerintah kemudian tidak berniat untuk menyelenggarakan pemilu. Ada indikasi kuat bahwa pemerintah punya keinginan politik untuk menyelengga-rakan pemilu. Misalnya adalah dibentuknya UU No. UU No 27 tahun 1948 tentang Pemilu, yang kemudian diubah dengan UU No. 12 tahun 1949 tentang Pemilu. Di dalam UU No 12/1949 diamanatkan bahwa pemilihan umum yang akan dilakukan adalah bertingkat (tidak langsung). Sifat pemilihan tidak langsung ini didasarkan pada alasan bahwa mayoritas warganegara Indonesia pada waktu itu masih buta huruf, sehingga kalau pemilihannya langsung dikhawatirkan akan banyak terjadi distorsi.

Kemudian pada paroh kedua tahun 1950, ketika Mohammad Natsir dari Masyumi menjadi Perdana Menteri, pemerintah memutuskan untuk menjadikan pemilu sebagai program kabinetnya. Sejak itu pembahasan UU Pemilu mulai dilakukan lagi, yang dilakukan oleh Panitia Sahardjo dari Kantor Panitia Pemilihan Pusat sebelum kemudian dilanjutkan ke parlemen. Pada waktu itu Indonesia kembali menjadi negara kesatuan, setelah sejak 1949 menjadi negara serikat dengan nama Republik Indonesia Serikat (RIS).

Setelah Kabinet Natsir jatuh 6 bulan kemudian, pembahasan RUU Pemilu dilanjutkan oleh pemerintahan Sukiman Wirjosandjojo, juga dari Masyumi. Pemerintah ketika itu berupaya menyelenggarakan pemilu karena pasal 57 UUDS 1950 menyatakan bahwa anggota DPR dipilih oleh rakyat melalui pemilihan umum.
Tetapi pemerintah Sukiman juga tidak berhasil menuntaskan pembahasan undang-undang pemilu tersebut. Selanjutnya UU ini baru selesai dibahas oleh parlemen pada masa pemerintahan Wilopo dari PNI pada tahun 1953. Maka lahirlah UU No. 7 Tahun 1953 tentang Pemilu. UU inilah yang menjadi payung hukum Pemilu 1955 yang diselenggarakan secara langsung, umum, bebas dan rahasia. Dengan demikian UU No. 27 Tahun 1948 tentang Pemilu yang diubah dengan UU No. 12 tahun 1949 yang mengadopsi pemilihan bertingkat (tidak langsung) bagi anggota DPR tidak berlaku lagi.

Patut dicatat dan dibanggakan bahwa pemilu yang pertama kali tersebut berhasil diselenggarakan dengan aman, lancar, jujur dan adil serta sangat demokratis. Pemilu 1955 bahkan mendapat pujian dari berbagai pihak, termasuk dari negara-negara asing. Pemilu ini diikuti oleh lebih 30-an partai politik dan lebih dari seratus daftar kumpulan dan calon perorangan.

Yang menarik dari Pemilu 1955 adalah tingginya kesadaran berkom-petisi secara sehat. Misalnya, meski yang menjadi calon anggota DPR adalah perdana menteri dan menteri yang sedang memerintah, mereka tidak menggunakan fasilitas negara dan otoritasnya kepada pejabat bawahan untuk menggiring pemilih yang menguntungkan partainya. Karena itu sosok pejabat negara tidak dianggap sebagai pesaing yang menakutkan dan akan memenangkan pemilu dengan segala cara. Pemilu ini dilakukan untuk dua keperluan, yaitu memilih anggota DPR dan memilih anggota Dewan Konstituante.

Pemilu untuk anggota Dewan Konstituante dilakukan tanggal 15 Desember 1955. Jumlah kursi anggota Konstituante dipilih sebanyak 520, tetapi di Irian Barat yang memiliki jatah 6 kursi tidak ada pemilihan. Maka kursi yang dipilih hanya 514. Hasil pemilihan anggota Dewan Konstituante menunjukkan bahwa PNI, NU dan PKI meningkat dukungannya, sementara Masyumi, meski tetap menjadi pemenang kedua, perolehan suaranya merosot 114.267 dibanding-kan suara yang diperoleh dalam pemilihan anggota DPR.

Periode Demokrasi Terpimpin

Sangat disayangkan, kisah sukses Pemilu 1955 akhirnya tidak bisa dilanjutkan dan hanya menjadi catatan emas sejarah. Pemilu pertama itu tidak berlanjut dengan pemilu kedua lima tahun beri-kutnya, meskipun tahun 1958 Pejabat Presiden Sukarno sudah melantik Panitia Pemilihan Indonesia II.

Yang terjadi kemudian adalah berubahnya format politik dengan keluarnya Dekrit Presiden 5 Juli 1959, sebuah keputusan presiden untuk membubarkan Konstituante dan pernyataan kembali ke UUD 1945 yang diperkuat angan-angan Presiden Soekarno menguburkan partai-partai. Dekrit itu kemudian mengakhiri rezim demokrasi dan mengawali otoriterianisme kekuasaan di Indonesia, yang – meminjam istilah Prof. Ismail Sunny -- sebagai kekuasaan negara bukan lagi mengacu kepada democracy by law, tetapi democracy by decree.

Otoriterianisme pemerintahan Presiden Soekarno makin jelas ketika pada 4 Juni 1960 ia membubarkan DPR hasil Pemilu 1955, setelah sebelumnya dewan legislatif itu menolak RAPBN yang diajukan pemerintah. Presiden Soekarno secara sepihak dengan senjata Dekrit 5 Juli 1959 membentuk DPR-Gotong Royong (DPR-GR) dan MPR Sementara (MPRS) yang semua anggotanya diangkat presiden.

Pengangkatan keanggotaan MPR dan DPR, dalam arti tanpa pemi-lihan, memang tidak bertentangan dengan UUD 1945. Karena UUD 1945 tidak memuat klausul tentang tata cara memilih anggota DPR dan MPR. Tetapi, konsekuensi pengangkatan itu adalah terkooptasi-nya kedua lembaga itu di bawah presiden. Padahal menurut UUD 1945, MPR adalah pemegang kekuasaan tertinggi, sedangkan DPR neben atau sejajar dengan presiden.

Sampai Presiden Soekarno diberhentikan oleh MPRS melalui Sidang Istimewa bulan Maret 1967 (Ketetapan XXXIV/MPRS/ 1967) setelah meluasnya krisis politik, ekonomi dan sosial pascakudeta G 30 S/PKI yang gagal semakin luas, rezim yang kemudian dikenal dengan sebutan Demokrasi Terpimpin itu tidak pernah sekalipun menyelenggarakan pemilu. Malah tahun 1963 MPRS yang anggotanya diangkat menetapkan Soekarno, orang yang mengangkatnya, sebagai presiden seumur hidup. Ini adalah satu bentuk kekuasaan otoriter yang mengabaikan kemauan rakyat tersalurkan lewat pemilihan berkala.


Pemilu 1971

Ketika Jenderal Soeharto diangkat oleh MPRS menjadi pejabat Presiden menggantikan Bung Karno dalam Sidang Istimewa MPRS 1967, ia juga tidak secepatnya menyelenggarakan pemilu untuk mencari legitimasi kekuasaan transisi. Malah Ketetapan MPRS XI Tahun 1966 yang mengamanatkan agar Pemilu bisa diselenggarakan dalam tahun 1968, kemudian diubah lagi pada SI MPR 1967, oleh Jenderal Soeharto diubah lagi dengan menetapkan bahwa Pemilu akan diselenggarakan dalam tahun 1971.

Sebagai pejabat presiden Pak Harto tetap menggunakan MPRS dan DPR-GR bentukan Bung Karno, hanya saja ia melakukan pembersihan lembaga tertinggi dan tinggi negara tersebut dari sejumlah anggota yang dianggap berbau Orde Lama.

Pada prakteknya Pemilu kedua baru bisa diselenggarakan tanggal 5 Juli 1971, yang berarti setelah 4 tahun pak Harto berada di kursi kepresidenan. Pada waktu itu ketentuan tentang kepartaian (tanpa UU) kurang lebih sama dengan yang diterapkan Presiden Soekarno.

UU yang diadakan adalah UU tentang pemilu dan susunan dan kedudukan MPR, DPR, dan DPRD. Menjelang pemilu 1971, pemerintah bersama DPR GR menyelesaikan UU No. 15 Tahun 1969 tentang Pemilu dan UU No. 16 tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR dan DPRD. Penyelesaian UU itu sendiri memakan waktu hampir tiga tahun.

Hal yang sangat signifikan yang berbeda dengan Pemilu 1955 adalah bahwa para pejebat negara pada Pemilu 1971 diharuskan bersikap netral. Sedangkan pada Pemilu 1955 pejabat negara, termasuk perdana menteri yang berasal dari partai bisa ikut menjadi calon partai secara formal. Tetapi pada prakteknya pada Pemilu 1971 para pejabat pemerintah berpihak kepada salah satu peserta Pemilu, yaitu Golkar. Jadi sesungguhnya pemerintah pun merekayasa ketentuan-ketentuan yang menguntungkan Golkar seperti menetapkan seluruh pegawai negeri sipil harus menyalurkan aspirasinya kepada salah satu peserta Pemilu itu.

Dalam hubungannya dengan pembagian kursi, cara pembagian yang digunakan dalam Pemilu 1971 berbeda dengan Pemilu 1955. Dalam Pemilu 1971, yang menggunakan UU No. 15 Tahun 1969 sebagai dasar, semua kursi terbagi habis di setiap daerah pemilihan. Cara ini ternyata mampu menjadi mekanisme tidak langsung untuk mengurangi jumlah partai yang meraih kursi dibandingkan penggunaan sistem kombinasi. Tetapi, kelemahannya sistem demiki-an lebih banyak menyebabkan suara partai terbuang percuma.

Jelasnya, pembagian kursi pada Pemilu 1971 dilakukan dalam tiga tahap, ini dalam hal ada partai yang melakukan stembus accoord. Tetapi di daerah pemilihan yang tidak terdapat partai yang melakukan stembus acccord, pembagian kursi hanya dilakukan dalam dua tahap.
Tahap pembagian kursi pada Pemilu 1971 adalah sebagai berikut. Pertama, suara partai dibagi dengan kiesquotient di daerah pemi-lihan. Tahap kedua, apabila ada partai yang melakukan stembus accoord, maka jumlah sisa suara partai-partai yang menggabungkan sisa suara itu dibagi dengan kiesquotient. Pada tahap berikutnya apabila masih ada kursi yang tersisa masing-masing satu kursi diserahkan kepada partai yang meraih sisa suara terbesar, termasuk gabungan sisa suara partai yang melakukan stembus accoord dari perolehan kursi pembagian tahap kedua. Apabila tidak ada partai yang melakukan stembus accoord, maka setelah pembagian pertama, sisa kursi dibagikan langsung kepada partai yang memiliki sisa suara terbesar.
Namun demikian, cara pembagian kursi dalam Pemilu 1971 menyebabkan tidak selarasnya hasil perolehan suara secara nasional dengan perolehan keseluruhan kursi oleh suatu partai. Contoh paling gamblang adalah bias perolehan kursi antara PNI dan Parmusi. PNI yang secara nasional suaranya lebih besar dari Parmusi, akhirnya memperoleh kursi lebih sedikit dibandingkan Parmusi.


Pemilu 1977, 1982, 1987, 1992, dan 1997

Setelah 1971, pelaksanaan Pemilu yang periodik dan teratur mulai terlaksana. Pemilu ketiga diselenggarakan 6 tahun lebih setelah Pemilu 1971, yakni tahun 1977, setelah itu selalu terjadwal sekali dalam 5 tahun. Dari segi jadwal sejak itulah pemilu teratur dilaksanakan.
Satu hal yang nyata perbedaannya dengan Pemilu-pemilu sebelumnya adalah bahwa sejak Pemilu 1977 pesertanya jauh lebih sedikit, dua parpol dan satu Golkar. Ini terjadi setelah sebelumnya pemerintah bersama-sama dengan DPR berusaha menyederhanakan jumlah partai dengan membuat UU No. 3 Tahun 1975 tentang Partai Politik dan Golkar. Kedua partai itu adalah Partai Persatuan Pembangunan atau PPP dan Partai Demokrasi Indonesia atau PDI) dan satu Golongan Karya atau Golkar. Jadi dalam 5 kali Pemilu, yaitu Pemilu 1977, 1982, 1987, 1992, dan 1997 pesertanya hanya tiga tadi.
Hasilnya pun sama, Golkar selalu menjadi pemenang, sedangkan PPP dan PDI menjadi pelengkap atau sekedar ornamen. Golkar bahkan sudah menjadi pemenang sejak Pemilu 1971. Keadaan ini secara lang-sung dan tidak langsung membuat kekuasaan eksekutif dan legislatif berada di bawah kontrol Golkar. Pendukung utama Golkar adalah birokrasi sipil dan militer. Berikut ini dipaparkan hasil dari 5 kali Pemilu tersebut secara berturut-turut.

Hasil Pemilu 1977

Pemungutan suara Pemilu 1977 dilakukan 2 Mei 1977. Cara pembagian kursi masih dilakukan seperti dalam Pemilu 1971, yakni mengikuti sistem proporsional di daerah pemilihan. Dari 70.378.750 pemilih, suara yang sah mencapai 63.998.344 suara atau 90,93 persen. Dari suara yang sah itu Golkar meraih 39.750.096 suara atau 62,11 persen. Namun perolehan kursinya menurun menjadi 232 kursi atau kehilangan 4 kursi dibandingkan Pemilu 1971.
Pada Pemilu 1977 suara PPP naik di berbagai daerah, bahkan di DKI Jakarta dan DI Aceh mengalahkan Golkar. Secara nasional PPP berhasil meraih 18.743.491 suara, 99 kursi atau naik 2,17 persen, atau bertambah 5 kursi dibanding gabungan kursi 4 partai Islam dalam Pemilu 1971. Kenaikan suara PPP terjadi di banyak basis-basis eks Masjumi. Ini seiring dengan tampilnya tokoh utama Masjumi mendukung PPP. Tetapi kenaikan suara PPP di basis-basis Masjumi diikuti pula oleh penurunan suara dan kursi di basis-basis NU, sehingga kenaikan suara secara nasional tidak begitu besar.
PPP berhasil menaikkan 17 kursi dari Sumatera, Jakarta, Jawa Barat dan Kalimantan, tetapi kehilangan 12 kursi di Jawa Tengah, Yogyakarta, Jawa Timur dan Sulawesi Selatan. Secara nasional tambahan kursi hanya 5.
PDI juga merosot perolehan kursinya dibanding gabungan kursi partai-partai yang berfusi sebelumnya, yakni hanya memperoleh 29 kursi atau berkurang 1 kursi di banding gabungan suara PNI, Parkindo dan Partai Katolik.

Hasil Pemilu 1987

Pemungutan suara Pemilu 1987 diselenggarakan tanggal 23 April 1987 secara serentak di seluruh tanah air. Dari 93.737.633 pemilih, suara yang sah mencapai 85.869.816 atau 91,32 persen. Cara pembagian kursi juga tidak berubah, yaitu tetap mengacu pada Pemilu sebelumnya.

Hasil Pemilu kali ini ditandai dengan kemerosotan terbesar PPP, yakni hilangnya 33 kursi dibandingkan Pemilu 1982, sehingga hanya mendapat 61 kursi. Penyebab merosotnya PPP antara lain karena tidak boleh lagi partai itu memakai asas Islam dan diubahnya lambang dari Ka'bah kepada Bintang dan terjadinya penggembosan oleh tokoh- tokoh unsur NU, terutama Jawa Timur dan Jawa Tengah.
Sementara itu Golkar memperoleh tambahan 53 kursi sehingga menjadi 299 kursi. PDI, yang tahun 1986 dapat dikatakan mulai dekat dengan kekuasaan, sebagaimana diindikasikan dengan pembentukan DPP PDI hasil Kongres 1986 oleh Menteri Dalam Negeri Soepardjo Rustam, berhasil menambah perolehan kursi secara signifikan dari 30 kursi pada Pemilu 1982 menjadi 40 kursi pada Pemilu 1987 ini.

Hasil Pemilu 1992

Cara pembagian kursi untuk Pemilu 1992 juga masih sama dengan Pemilu sebelumnya. Hasil Pemilu yang pemungutan suaranya dilaksanakan tanggal 9 Juni 1992 ini pada waktu itu agak mengagetkan banyak orang. Sebab, perolehan suara Golkar kali ini merosot dibandingkan Pemilu 1987. Kalau pada Pemilu 1987 perolehan suaranya mencapai 73,16 persen, pada Pemilu 1992 turun menjadi 68,10 persen, atau merosot 5,06 persen. Penurunan yang tampak nyata bisa dilihat pada perolehan kursi, yakni menurun dari 299 menjadi 282, atau kehilangan 17 kursi dibanding pemilu sebelumnya.

PPP juga mengalami hal yang sama, meski masih bisa menaikkan 1 kursi dari 61 pada Pemilu 1987 menjadi 62 kursi pada Pemilu 1992 ini. Tetapi di luar Jawa suara dan kursi partai berlambang ka’bah itu merosot. Pada Pemilu 1992 partai ini kehilangan banyak kursi di luar Jawa, meski ada penambahan kursi dari Jawa Timur dan Jawa Tengah. Malah partai itu tidak memiliki wakil sama sekali di 9 provinsi, termasuk 3 provinsi di Sumatera. PPP memang berhasil menaikkan perolehan 7 kursi di Jawa, tetapi karena kehilangan 6 kursi di Sumatera, akibatnya partai itu hanya mampu menaikkan 1 kursi secara nasional.
Yang berhasil menaikkan perolehan suara dan kursi di berbagai daerah adalah PDI. Pada Pemilu 1992 ini PDI berhasil meningkatkan perolehan kursinya 16 kursi dibandingkan Pemilu 1987, sehingga menjadi 56 kursi. Ini artinya dalam dua pemilu, yaitu 1987 dan 1992, PDI berhasil menambah 32 kursinya di DPR RI.

Hasil Pemilu 1997

Sampai Pemilu 1997 ini cara pembagian kursi yang digunakan tidak berubah, masih menggunakan cara yang sama dengan Pemilu 1971, 1977, 1982, 1987, dan 1992. Pemungutan suara diselenggarakan tanggal 29 Mei 1997. Hasilnya menunjukkan bahwa setelah pada Pemilu 1992 mengalami kemerosotan, kali ini Golkar kembali merebut suara pendukungnnya. Perolehan suaranya mencapai 74,51 persen, atau naik 6,41. Sedangkan perolehan kursinya meningkat menjadi 325 kursi, atau bertambah 43 kursi dari hasil pemilu sebelumnya.
PPP juga menikmati hal yang sama, yaitu meningkat 5,43 persen. Begitu pula untuk perolehan kursi. Pada Pemilu 1997 ini PPP meraih 89 kursi atau meningkat 27 kursi dibandingkan Pemilu 1992. Dukungan terhadap partai itu di Jawa sangat besar.
Sedangkan PDI, yang mengalami konflik internal dan terpecah antara PDI Soerjadi dengan Megawati Soekarnoputri setahun menjelang pemilu, perolehan suaranya merosot 11,84 persen, dan hanya mendapat 11 kursi, yang berarti kehilangan 45 kursi di DPR dibandingkan Pemilu 1992.

Pemilu kali ini diwarnai banyak protes. Protes terhadap kecurangan terjadi di banyak daerah. Bahkan di Kabupaten Sampang, Madura, puluhan kotak suara dibakar massa karena kecurangan penghitungan suara dianggap keterlaluan. Ketika di beberapa tempat di daerah itu pemilu diulang pun, tetapi pemilih, khususnya pendukung PPP, tidak mengambil bagian.

Sumber: www.kpu.go.id

Penyelenggara Pemilu

Penyelenggara Pemilu

Sistem Pemilu Yang Pernah Ada di Muka Bumi Ini


Apa itu Sistem Pemilihan Umum?
Istilah "Sistem Pemilihan Umum" sudah sering didengar dan dibaca di berbagai media massa, baik cetak maupun elektronik. Tidak jarang pula dalam media massa, setiap hal yang berhubungan dengan pemilihan umum disebut sebagai "sistem pemilu", mulai dari hak pilih, penyelenggaraan pemilu dan berbagai hal lain.Sesungguhnya istilah "sistem pemilu" memiliki definisi yang lebih sempit dan ketat.
"Sistem Pemilihan Umum adalah rangkaian aturan yang menurutnya (1) pemilih mengekspresikan preferensi politik mereka, dan (2) suara dari para pemilih diterjemahkan menjadi kursi."
Definisi ini mengisyaratkan bahwa sistem pemilihan umum mengandung elemen-elemen struktur kertas suara dan cara pemberian suara, besar distrik, serta penerjemahan suara menjadi kursi. Dengan demikian hal-hal seperti administrasi pemilihan umum dan hak pilih, walaupun penting, berada di luar lingkup pembahasan sistem pemilihan umum.

Mengapa Sistem Pemilihan Umum Penting?
Tidak diragukan lagi bahwa sistem pemilihan umum memainkan peranan penting dalam sebuah sistem politik, walaupun tidak terdapat kesepakatan mengenai seberapa penting sistem pemilihan umum dalam membangun struktur sebuah sistem politik. Giovanni Sartori menyebutkan bahwa sistem pemilihan umum adalah "sebuah bagian ang paling esensial dari kerja sistem politik. Sistem pemilihan umum bukan hanya instrumen politik yang paling mudah dimanipulasi; ia juga membentuk sistem kepartaian dan mempengaruhi spektrum representasi". Tekanan juga diberikan oleh Arend Lijphart yang mengatakan "sistem pemilihan umum adalah elemen paling mendasar dari demokrasi perwakilan".Dapat kita katakan bahwa
"Sistem pemilihan umum mempengaruhi perilaku pemilih dan hasil pemilu, sehingga sistem pemilu juga mempengaruhi representasi politik dan sistem kepartaian".

Elemen Sistem Pemilihan Umum
Seperti telah disebutkan sebelumnya, elemen dari sistem pemilihan umum adalah:
besar distrik, struktur kertas suara, dan electoral formula.
Besar Distrik
Yang dimaksud dengan distrik adalah wilayah geografis suatu negara yang batas-batasnya dihasilkan melalui suatu pembagian untuk tujuan pemilihan umum. Dengan demikian luas sebuah distrik dapat sama besar dengan besar wilayah administrasi pemerintahan, dapat pula berbeda.
Yang dimaksud dengan besar distrik adalah berapa banyak anggota lembaga perwakilan yang akan dipilih dalam satu distrik pemilihan. Besar distrik bukan berarti berapa jumlah pemilih yang ada dalam distrik tersebut. Berdasarkan definisi tersebut maka kita dapat membedakan distrik menjadi distrik beranggota tunggal (single member district) dan distrik beranggota jamak (multi member district).
Selanjutnya distrik beranggota jamak dapat dikelompokkan menjadi jumlah kursi yang diperebutkan.

Struktur Kertas Suara
Yang dimaksud dengan struktur kertas suara adalah cara penyajian pilihan di atas kertas suara. Cara penyajian pilihan ini menentukan bagaimana pemilih kemudian memberikan suara.
Jenis pilihan dapat dibedakan menjadi dua, yaitu kategorikal dimana pemilih hanya memilih satu partai atau calon, dan ordinal dimana pemilih memiliki kebebasan lebih dan dapat menentukan preferensi atau urutan dari partai atau calon yang diinginkannya. Kemungkinan lain adalah gabungan dari keduanya.
Sumber: The International IDEA Handbook of Electoral System Design, (Stockholm, Swedia, International Institute for Democracy and Electoral Assistance, 1997)

Electoral Formula
Electoral Formula adalah bagian dari sistem pemilihan umum yang membicarakan penerjemahan suara menjadi kursi. Termasuk di dalamnya adalah rumus yang digunakan untuk menerjemahkan perolehan suara menjadi kursi, serta batas ambang pemilihan (electoral threshold).
Ada berbagai macam rumus dan cara yang dapat digunakan untuk menerjemahkan perolehan suara menjadi kursi. Mengingat kompleksitas pembahasannya, maka akan dibahas tersendiri.

Sistem-sistem Pemilihan Umum

1. Single Member District Plurality (SMDP), yakni kandidat yang memperoleh suara terbanyak yang terpilih, walaupun tidak mencapai mayoritas sederhana.

2. Sistem Dua Putaran (SDP), jika tidak ada kandidat yang mencapai mayoritas sederhana, diadakan pemilihan pemilihan lanjutan diantara dua kandidat dengan suara terbanyak. Pemenang pemilihan lanjutan yang akan terpilih.

3. Majority Preferential Voting (MPV), pemilih menentukan pilihan sesuai urutan preferensi. Jika tidak ada calon yang memperoleh suara mayoritas berdasarkan preferensi pertama, maka calon dengan preferensi pertama paling sedikit disingkirkan dan didistribusikan sesuai pilihan keduanya. Proses diulangi sampai ada calon dengan suara mayoritas.

4. Multi Member District Plurality (MMDP), pemilih memberikan pilihan sebanyak jumlah kursi tersedia. Jika tersedia n kursi, maka n orang kandidat dengan suara terbanyak yang terpilih.

5. Single Non Transferable Vote (SNTV) atau dikenal dengan sistem semi proporsional, yaitu pemilih memberikan satu pilihan. Jika tersedia n kursi, maka n orang kandidat dengan suara terbanyak yang terpilih.

6. Single Transferable Vote (STV), pemilih menentukan pilihan sesuai urutan preferensi. Kandidat dengan pilihan pertama mencapai quota akan terpilih. Calon dengan preferensi pertama paling sedikit disingkirkan dan didistribusikan sesuai pilihan keduanya. Proses diulangi sampai diperoleh n calon yang mencapai quota.

7. Parallel Vote, legislatur terdiri dari mereka yang terpilih lewat pluralitas atau mayoritas dalam distrik beranggota tunggal ditambah mereka yang terpilih secara proporsional dalam distrik beranggota banyak. Kursi proporsional diberikan terlepas dari hasil yang dihasilkan dari pemilihan lewat distrik beranggota tunggal.

8. Mixed Member Proportional (MMP), legislatur terdiri dari mereka yang terpilih lewat pluralitas atau mayoritas dalam distrik beranggota tunggal ditambah mereka yang terpilih secara proporsional dalam distrik beranggota banyak. Kursi proporsional diberikan untuk mengkompensasi efek disproporsional yang timbul dari hasil distrik beranggota tunggal.

9. Party List, pemilih memilih dari daftar yang disediakan, kursi diberikan sesuai proporsi suara yang diterima oleh partai. Kandidat terpilih berdasarkan urutannya dalam daftar.

10. Multi Member District Plurality (MMDP), sistem ini tergolong kedalam jenis pemilihan pluralitas. Yang membedakan sistem ini dari SMDP adalah penerapannya di dalam distrik beranggota jamak. Nama lain dari sistem ini adalah Block Vote (BV).
MMDP dipergunakan pada distrik pemilihan beranggota jamak.
Cara Kerja:
Pemilih memiliki suara sejumlah banyaknya kursi tersedia (n) yang dilakukan dengan memberikan tanda untuk menunjukkan pilihannya. Sejumlah n calon dengan suara terbanyak dinyatakan sebagai pemenang.
Salah satu varian dari MMDP ini adalah Limited Vote (LV) seperti yang digunakan di Spanyol untuk pemilihan anggota Senat. Yang membedakan dari varian utama sistem MMDP adalah jumlah suara yang dimiliki oleh seorang pemilih. Dalam LV seorang pemilih memiliki suara lebih sedikit dari jumlah kursi yang tersedia. Misalnya dalam distrik tersebut diperebutkan n kursi, maka pemilih memiliki suara lebih sedikit dari n. Biasanya berkisar antara n-2 atau n-1.
Negara Pengguna
Sistem ini digunakan di Kuwait, Mauritius, Palestina, Maladewa dan Bermuda, juga pada sebagian distrik di Singapura.

11. Party List Proportional Representation (List PR). Sistem ini tergolong kedalam jenis pemilihan proporsional. Anggota parlemen berdasarkan sistem pemilihan ini, berasal dari daftar proporsional. List PR dipergunakan pada distrik beranggota jamak.
Cara Kerja:
Dalam bentuk paling sederhana dari sistem ini pemilih menentukan partai pilihannya. Kursi didistribusikan sesuai proporsi suara yang diperoleh.
Sebagai contoh, jika terdapat 5 partai (A,B,C,D,E) dan A memperoleh 25% suara, B memperoleh 35% suara, C memperoleh 10% suara, D memperoleh 15% suara dan E memperoleh 15% suara, dan yang diperebutkan adalah 100 kursi maka partai A memperoleh 25 kursi, B memperoleh 35 kursi, C memperoleh 10 kursi, D memperoleh 15 kursi dan E memperoleh 15 kursi.
Selain dalam bentuknya yang paling sederhana seperti diatas, yang biasa disebut Closed List PR (Proporsional stelsel daftar tertutup), sistem ini memiliki beberapa varian lain yaitu Open List PR (Proporsional daftar terbuka) dan Free List PR (Proporsional daftar bebas).Dalam daftar terbuka, pemilih boleh menentukan urutan dalam daftar partai. Dalam daftar bebas, pemilih boleh menentukan sendiri daftar pilihannya yang tidak harus berasal dari satu partai.
Negara Pengguna
Sistem daftar tertutup selama ini dipergunakan di Indonesia. Negara-negara lain yang menggunakan sistem ini adalah Luxembourg dan Swiss (daftar bebas), Sri Lanka dan Finlandia (daftar terbuka), bagian terbesar dari negara-negara yang mempergunakan sistim ini menggunakan daftar tertutup seperti Afrika Selatan.

12. Majority Preferential Voting. Sistem ini tergolong kedalam jenis pemilihan mayoritas dimana pemenang harus mencapai mayoritas sederhana (50%+1). Berbeda dengan SDP, pada sistem ini tidak diadakan pemilihan putaran kedua, sebagai gantinya pemilih memberikan urutan pilihan. Sistem ini dikenal dengan nama lain Instant Run-off Voting (IRV). Di Australia sistem ini disebut Alternative Vote (AV). MPV dipergunakan pada distrik pemilihan beranggota tunggal.
Cara Kerja
Dalam sistem ini, semua kandidat ditampilkan dalam kertas suara dan pemilih memberi tanda yang mengindikasikan urutan pilihannya. Seluruh suara kemudian dihitung. Kandidat yang memperoleh suara sekurangnya 50%+1 dinyatakan sebagai pemenang. Jika pada penghitungan pertama tidak ada calon yang memperoleh suara 50%+1, maka diadakan penghitungan kedua.Calon yang memperoleh pilihan pertama paling sedikit disisihkan dan suara diberikan kepada pilihan kedua seperti yang diindikasikan oleh para pemilihnya. Begitu seterusnya proses penghitungan dilakukan sehingga diperoleh calon dengan suara mayoritas (50%+1).
Sebagai contoh, jika pada suatu distrik dengan 100.000 orang pemilih terdapat 5 orang calon (A,B,C,D,E) dan A memperoleh 35.000 suara, B memperoleh 30.000 suara, C memperoleh 5.000 suara, D memperoleh 20.000 suara dan E memperoleh 10.000 suara, maka diadakan penghitungan tahap kedua.Calon C, karena memperoleh pilihan pertama paling sedikit, disisihkan. Kertas suara pemilihnya diperiksa kembali dan dilimpahkan ke pilihan kedua. Misalkan 1.000 orang menempatkan A pada pilihan kedua, 2.000 orang menempatkan B pada pilihan kedua dan 2.000 orang menempatkan D pada pilihan kedua. Suara A menjadi 36.000, B menjadi 32.000, D menjadi 22.000 dan E tetap 10.000 suara. Dari keempat calon yang tersisa ternyata masih belum ada yang mencapai suara mayoritas, sehingga proses penghitungan dilanjutkan, E disingkirkan dan suara untuknya diperiksa preferensi berikutnya.Jika ada pemilih E yang memilih C sebagai preferensi keduanya, maka suara diberikan kepada preferensi ketiga (karena C sudah tersingkir), demikian seterusnya dilakukan penghitungan hingga didapati calon dengan suara mayoritas sederhana.
Negara Pengguna
Sistem ini digunakan pada pemilihan parlemen di Australia.

Formula untuk Sistem PR
Formula untuk menentukan kursi perolehan dalam sistem pemilihan umum perwakilan berimbang (PR) dapat dijelaskan dengan lebih baik jika dilakukan klasifikasi dan subklasifikasi terlebih dahulu. Klasifikasi pertama membedakan antara List PR (perwakilan berimbang dengan daftar) dan STV (single Transferable Vote). List PR dapat diklasifikasi lagi menjadi rata-rata tertinggi [highest average (divisor)] dan sisa terbanyak [largest remainder (quota)], yang masing-masingnya dapat diklasifikasi lagi menurut bilangan pembagi atau kuota yang dipakai.
Pada prakteknya ada dua metode rata-rata tertinggi yang digunakan untuk mengalokasikan kursi, yaitu d’Hondt dan modifikasi Sainte-Lague. Dalam metode rata-rata tertinggi kursi diberikan secara berurutan kepada partai dengan ‘rata-rata’ jumlah suara per kursi tertinggi, sampai seluruh kursi selesai dibagi; setiap kali sebuah partai mendapatkan kursi maka ‘rata-rata’ partai tersebut akan turun. Yang dimaksud ‘rata-rata’ di sini bukanlah rata-rata dalam pengertian seperti biasa, tetapi tergantung dari suatu kumpulan bilangan pembagi sesuai dengan sistem yang digunakan.
Ada tiga bentuk formula sisa terbesar [Largest Remainder (LR)] yang lazim dikenal. Masing-masing menggunakan kuota Hare, Droop dan Imperiali. Dalam semua sistem kuota, langkah pertama adalah menghitung kuota jumlah suara yang dibutuhkan untuk mendapatkan satu kursi; masing-masing partai mendapatkan kursi sebanyak kuota yang didapat; kursi yang belum teralokasi kemudian diberikan kepada partai yang mempunyai sisa suara terbanyak.
Kuota Hare adalah yang tertua dan paling sederhana: yaitu jumlah suara absah dibagi dengan jumlah kursi yang diperebutkan (N). Kuota Droop didapat dari total jumlah suara dibagi dengan hasil pertambahan antara jumlah kursi dan 1 (N+1). Dalam kuota Imperiali bilangan pembagi untuk memperoleh kuota adalah jumlah kursi ditambah 2 (N+2).
Cara ini cepat karena tinggal membagi suara yang diperoleh masing-masing partai dengan kuota sesuai metode yang dipakai, yang memberikan jumlah kuota yang diperoleh masing-masing partai. Tiap partai mendapatkan satu kursi untuk setiap kuota yang terpenuhi; kursi yang tidak dapat dibagi dengan cara ini diberikan kepada partai yang memiliki fraksi kuota terbesar.
Kecuali perbedaan kuota, prosedur untuk mengalokasikan kursi ke masing-masing partai berdasarkan metode Droop dan Imperiali adalah sama. Formula LR-Imperiali hanya digunakan di Itali [walaupun dalam pemilu 1948 dan 1953 digunakan kuota yang lebih rendah, yang herannya disebut juga kuota imperiali (jumlah suara dibagi hasil penambahan jumlah kursi dan tiga)]. Untuk lebih memudahkan, kuota yang lebih rendah itu dinamakan kuota imperiali yang ditegaskan (reinforced imperiali), dan formulanya disebut LR-Imperiali yang ditegaskan. Kedua kuota imperiali memiliki resiko mengalokasikan kursi melebihi jumlah kursi yang tersedia; Misalnya jika kuota Imperiali dengan penegasan digunakan pada contoh dalam Tabel A.3. Aturan yang dipakai Itali untuk kasus seperti itu adalah hasilnya dikalkulasi ulang dengan menggunakan kuota yang lebih tinggi.
Formula Sainte-Lague yang murni dapat dilihat dengan cara serupa. Kuotanya adalah dua kali lipat dari ‘rata-rata’ terakhir dimana kursi diberikan; dan seluruh sisa suara sebesar setengah kuota atau lebih tidak diabaikan. Jika seluruh sisa suara diperhitungkan, hasil akan menguntungkan partai kecil, kebalikan dari d’Hondt yang mengabaikan sisa suara dan merugikan partai kecil. Dengan menetapkan batas kuota dimana setengah atau lebih memenuhi syarat memperoleh kursi dan kurang dari setengah tidak mendapat kursi, Sainte-Lague memberi perlakuan yang sama bagi semua partai. Tetapi, modifikasi Sainte-Lague menyimpang dari derajat proporsionalitas yang tinggi ini dengan menaikkan bilangan pembagi dari 1 ke 1.4 sehingga menyulitkan partai kecil untuk memperoleh kursi. Dalam memperhitungkan kursi pertama, formula ini beroperasi seperti d’Hondt karena jarak dari 1.4 ke 3 secara proporsional hampir sama dengan jarak dari 1 ke 2; Jika bilangan pembagi pertama adalah 1.5, prosedur untuk kursi pertama akan sama persis dengan d’Hondt. Tetapi untuk pembagian kursi selanjutnya modifikasi Sainte-Lague berlaku seperti Sainte-Lague murni. STV sulit dibandingkan dengan formula PR lain karena pemilih memberikan pilihan mereka untuk kandidat perorangan, menurut preferensi pribadi pemilih, dan bukan berdasarkan daftar partai.
Parallel Vote (PV)
Sistem ini tergolong kedalam jenis pemilihan semi proporsional. Anggota parlemen berdasarkan sistem pemilihan ini, berasal dari mereka yang terpilih lewat distrik beranggota tunggal dan dari daftar proporsional. Yang membedakan sistem ini dengan sistem MMP adalah bahwa dalam sistem ini daftar proporsional tidak dimaksudkan untuk memberikompensasi terhadap efek disproporsionalitas yang timbul akibat pemilihan dalam distrik beranggota tunggal.

Parallel Vote dipergunakan pada dua jenis distrik pemilihan, yaitu distrik beranggota tunggal dan distrik beranggota jamak.
Cara Kerja
Dalam sistem ini terdapat dua daftar, yaitu daftar calon untuk distrik beranggota tunggal dan daftar calon untuk distrik jamak. Pemilih memperoleh satu suara yang akan dipergunakan untuk mengisi keduanya.
Sebagai contoh, jika pada suatu distrik terdapat 5 orang calon (A,B,C,D,E) dan A memperoleh 25% suara, B memperoleh 35% suara, C memperoleh 10% suara, D memperoleh 15% suara dan E memperoleh 15% suara, maka dari distrik tersebut calon B yang menjadi pemenang. Seluruh suara untuk masing-masing calon ini akan masuk ke total suara bagi partai mereka pada tingkat distrik jamak, dan dialokasikan secara proporsional pada tingkatan tersebut. Misalkan dalam contoh kita, jika terdapat 250 distrik beranggota tunggal, dan 250 kursi bagi distrik beranggota jamak pada tingkat nasional, dan partai B memperoleh 10% suara secara nasional serta kemenangan pada 60 distrik beranggota tunggal, maka total kursi yang akan diperolehnya adalah 10% dari 250, yaitu 25 kursi ditambah 60 kursi distrik yang dimenangkan sehingga partai B memperoleh 85 kursi dari total 500 yang tersedia.
Negara Pengguna
Contoh negara-negara yang menggunakan sistem ini adalah Russia, Georgia, Albania, Armenia, Jepang, Korea Selatan dan Kamerun.

Single Non Transferable Vote (SNTV)
Sistem ini tergolong kedalam jenis pemilihan semi proporsional. Yang membedakan sistem ini dari MMDP adalah jumlah suara yang diberikan kepada pemilih hanya satu. SNTV dipergunakan pada distrik pemilihan beranggota jamak.
Cara Kerja
Pemilih memiliki satu suara yang dilakukan dengan memberikan tanda untuk menunjukkan pilihannya. Sejumlah n calon dengan suara terbanyak dinyatakan sebagai pemenang.
Negara Pengguna
Sistem ini digunakan di Jordania, Vanuatu dan untuk sebagian kursi parlemen Taiwan.

Single Transferable Vote (STV)
Sistem ini tergolong kedalam jenis pemilihan proporsional. Dikenal juga di Australia sebagai Hare-Clark System dan di kalangan reformis sistem pemilu di Amerika Serikat dikenal dengan sebutan Choice Vote. STV dipergunakan pada distrik pemilihan beranggota jamak.
Cara Kerja
Pemilih memberikan urutan preferensi pada calon-calon. Seluruh suara kemudian dihitung pilihan pertamanya. Proses kerja dapat dilihat pada diagram di sebelah.
Langkah pertama yang dilakukan adalah menentukan quota atau threshold ang dibutuhkan oleh seorang calon agar terpilih.Biasanya untuk menentukan quota ini dipergunakan rumusan Hare quota yaitu: {suara sah / (1 + jumlah kursi)} + 1 . Misalnya dalam satu distrik yang akan memperebutkan tiga kursi dengan 10.000 suara sah maka quotanya adalah:{10.000 / (1 + 3)} + 1 = 2.501. Langkah kedua adalah menghitung pilihan pertama dari seluruh pemilih. Setelah itu diperiksa apakah ada calon yang telah memenuhi quota. Suara sisa dari calon ang telah terpilih kemudian didistribusikan ke pilihan keduanya. Misalnya calon C memperoleh suara 2.800, maka didapat sisa suara sebanak 299 yang akan didistribusikan ke pilihan berikutnya. Cara menentukan distribusi suara akan dibicarakan dalam tulisan tersendiri. Jika dari hasil ini ternyata tidak ada yang mencapai quota, maka calon dengan jumlah pemilih tersedikit disisihkan dan suaranya didistribusikan ulang. Penghitungan kemudian dilakukan kembali. Proses hitung-periksa dilakukan seterusnya hingga diperoleh jumlah pemenang sebanyak jumlah kursi yang disediakan.
Negara Pengguna
Sistem ini digunakan di Irlandia dan Malta serta dalam pemilihan senat di Australia.

Sistem Dua Putaran (SDP)
Sistem ini (Two Round System [TRS] dalam bahasa Inggris) tergolong kedalam jenis pemilihan mayoritas. Dalam sistem ini pemenang harus mencapai mayoritas sederhana (50%+1). Desain sistem ini bertujuan untuk menutupi kekurangan sistem pluralitas, yaitu kemungkinan terpilihnya calon yang tidak didukung oleh mayoritas pemilih. SDP dipergunakan pada distrik pemilihan beranggota tunggal.
Cara Kerja
Dalam sistem ini, semua kandidat ditampilkan dalam kertas suara, dan pemilih memberi tanda pada salahsatu kandidat yang ia pilih. Seluruh suara kemudian dihitung. Kandidat yang memperoleh suara sekurangnya 50%+1 dinyatakan sebagai pemenang. Jika pada putaran pertama tidak ada calon yang memperoleh suara 50%+1, maka diadakan pemilihan putaran kedua. Pemilihan putaran kedua, biasanya satu atau dua minggu setelah putaran pertama, diikuti oleh dua calon yang pada pemilihan putaran pertama memperoleh suara terbanyak. Pemenang pemilihan putaran kedualah yang terpilih dari distrik tersebut.
Sebagai contoh, jika pada suatu distrik terdapat 5 orang calon (A,B,C,D,E) dan A memperoleh 25% suara, B memperoleh 35% suara, C memperoleh 10% suara, D memperoleh 15% suara dan E memperoleh 15% suara, maka diadakan pemilihan putaran kedua yang diikuti oleh calon A dan calon B.Jika pada pemilihan putaran kedua calon A memperoleh 55% suara dan calon B memperoleh 45% suara, maka calon A yang akan terpilih mewakili distrik tersebut.
Negara Pengguna
Contoh negara-negara yang menggunakan sistem SMDP ini adalah Perancis dan Monaco juga beberapa negara bekas jajahan Perancis seperti Mali, Togo, Chad dan Haiti.

Single Member District Plurality (SMDP)
Dalam pembicaraan mengenai sistem pemilihan umum di Indonesia kita sering mendengar istilah "pemilu sistem distrik". Sebenarnya yang dimaksud dengan terminologi "sistem distrik" adalah sistem SMDP ini. Sistem yang sama di Inggris dan Kanada biasa juga disebut First-Past-The-Post (FPTP). Sesuai dengan namanya, SMDP hanya dipergunakan pada distrik pemilihan beranggota tunggal.
Cara Kerja
Dalam sistem ini, semua kandidat ditampilkan dalam kertas suara, dan pemilih memberi tanda pada salahsatu kandidat yang ia pilih. Seluruh suara kemudian dihitung. Kandidat dengan jumlah suara terbanyak pada satu distrik pemilihan dinyatakan sebagai pemenang.
Sebagai contoh, jika pada suatu distrik terdapat 5 orang calon (A,B,C,D,E) dan A memperoleh 25% suara, B memperoleh 35% suara, C memperoleh 10% suara, D memperoleh 15% suara dan E memperoleh 15% suara maka calon B yang akan terpilih sebagai pemenang dari distrik yang bersangkutan.
Negara Pengguna
Contoh negara-negara yang menggunakan sistem SMDP ini adalah Amerika Serikat, Kanada dan kebanyakan negara bekas jajahan Inggris lainnya.


Oleh: Benjuino Theodore
Sumber: Pemilu Indonesia Online

Sejarah Pemilu di Indonesia

Tercatat telah 9 kali bangsa Indonesia menyelenggarakan pemilihan umum (Pemilu) untuk memilih wakil-wakil rakyat dan pemimpin negara. Pemilu 2009 adalah yang ke-10. Sementara Pemilu 2009 masih dalam tahap persiapan, ada baik-nya mengetahui bagaimana Pemilu-pemilu yang lalu dilaksanakan dan seperti apa hasilnya. Selain itu apakah perubahan-perubahan yang terjadi di dalam peraturan atau undang-undang yang mengatur Pemilu yang satu ke Pemilu berikutnya. Sebagai contoh bisa disebut di sini bahwa dalam enam kali Pemilu, yaitu Pemilu 1971, 1977, 1982, 1987, 1992, dan 1997 tidak ada perubahan apa-apa dalam sistem pembagian kursi DPR. Tentu perubahan di bidang lainnya ada juga. Data mengenai perolehan suara tiap Pemilu juga tetap merupakan informasi yang baik untuk diketahui.Uraian ini tentu tidak mengupas segala hal mengenai sejarah Pemilu yang sudah 9 kali tadi. Terlalu banyak hal yang harus dicakup. Karena itu informasi mengenai hal-hal lain yang menunjang pemahaman mengenai sejarah pemilu di Indonesia juga disediakan di bagian atau tulisan-tulisan lain.

Dalam tulisan ini dipaparkan sejarah masing-masing Pemilu Indonesia sejak 1955. Silakan lihat pada bagian bahasan Pemilu 1955 - 1997, Pemilu 1999 dan Pemilu 2004 dalam blog ini.

Emang Sapa Sich Yang Butuh Pemilu Tu?

Pemilu untuk Apa?

Ngapain ada Pemilu Segala Sich?

Pemilu Untuk Apa Sich

BARRACK OBAMA - Dreams from My Father

Partition & Recovery

Check Page Rank of any web site pages instantly:
This free page rank checking tool is powered by Page Rank Checker service